Peringatan HBA ke-60, Tiga Kegiatan Digelar Bersama Universitas Jember

Kejari Jember – Tiga kegiatan digelar oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Jember bersama Universitas Jember (Unej) untuk memperingati Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) ke-60.

Pertama, penandatanganan kesepakatan bersama bidang perdata dan tata usaha negara antara Universitas Jember dengan Kejaksaan Negeri Jember

“Kami akan melakukan kegiatan-kegiatan penguatan terhadap Unej dari segi perdata dan tata usaha negara, maupun kegiatan penelitian untuk penguatan pada kapasitas kemampuan jaksa,” terang Kepala Kejari Jember, Dr. Prima Idwan mariza, SH., M.Hum.

Dalam penandatangan kerja sama itu, Universitas Jember diwakili langsung oleh Rektor Universitas Jember, Dr. Ir. Iwan Taruna, M.Eng. Sedang Kejari Jember diwakili Kepala Kejari (Kajari) Dr. Prima Idwan Mariza, SH., M.Hum.

Kedua, peluncuran buku “Adhyaksa Penegakan Hukum dalam Perspektif Nilai Budaya, Historis, dan Kearifan Lokal” karya Kajari Jember.

Buku ini mencoba mengangkat hal berbeda dalam penegakan hukum, terkait penegakan hukum yang bisa dipengaruhi oleh budaya setempat, kearifan lokal, dan sejarah.

“Bagaimana menciptakan aparat-aparat penegak hukum, khususnya jaksa yang paham dengan kearifan lokal setempat, paham dengan budaya dimana dia ditugaskan,” ujarnya.

Ketiga, bincang-bincang hukum dengan Wakil Direktur II Pascasarjana Universitas Jember Prof. Dr. Arief Amrullah, SH., M.Hum., yang mengemukakan penegakan hukum berbasis nilai budaya bangsa.

Prof Arief menyampaikan berbagai gagasan dari berbagai literatur dan sejarah tentang pentingnya menegakkan hukum berbasis budaya.

“Makna dan hakikat yang mendasar dari gagasan penegakan hukum nasional berbasis nilai-nilai budaya bangsa terletak pada kenyataan bahwa konsep tersebut digali dari khasanah warisan sejarah nasional Indonesia,” ujar Prof. Arief.

Pembicara lainnya yakni Kajari Jember Prima, yang mengemukakan penegakan hukum yang berkeadilan. “Tentang penegakan hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat,” kata Prima.

Termasuk bagaimana seorang jaksa mentransformasikan dirinya untuk memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat.

Ditanya soal implementasi kearifan lokal dalam penegakan hukum, Kajari memberikan contoh kasus pencurian ranting yang dilaporkan salah satu kepala desa di Kecamatan Ambulu.

“Kami bereaksi cepat, berkoordinasi dengan polsek setempat dan Perhutani. Telah disepakati bersama jika hanya pencurian kecil, walau itu salah, tapi kita selesaikan dengan bijak. Cukup diselesaikan di perangkat desa,” terangnya.

Kajari menyatakan, hal itu adalah salah satu contoh yang nyata bagaimana hukum bekerja sesuai harapan masyarakat.

“Hukum itu memang untuk menyejahterakan, hukum itu untuk melindungi semua kepentingan, tapi kita harus melihat bagaimana hukum itu tumbuh dan berkembang di masyarakat,” urainya.

Menurut Kajari, penegakan hukum yang berbasis kearifan lokal sejalan dengan kebijakan pimpinan Kejaksaan RI. “Penegakan hukum yang mempergunakan nurani. Bukan hukum demi hukum semata,” tandasnya.

Hukum bukan hanya undang-undang dengan sekumpulan pasal. Tetapi juga melihat kearifan lokal. “Jadi mungkin perkara-perkara yang ada tidak harus naik (ke pengadilan), tidak perlu kami naikkan,” ujarnya.

Kajari juga menegaskan, jaksa mempunyai peran pengendali perkara mulai dari penyelidikan dan penyidikan. “Ada kepastian hukum juga. Bagaimana hukum itu bekerja menyejahterakan, bukan menyakitkan,” pungkasnya.

Terpisah, Wakil Bupati Jember, Drs. KH. A. Muqit Arief, menyatakan, penegakan hukum menjadi salah satu indikator sebuah negara hukum. “Semakin ditegakkannya hukum, maka wujud dari negara hukum semakin terasa,” tutur wabup.

Ketika penegakan hukum tidak bisa optimal, lanjut wabup, maka yang merasakan dampaknya adalah masyarakat. Menurut wabup, peringatan HBA ke-60 merupakan bagian dari upaya penegakan hukum.

Insya Allah, kegiatan ini dapat dirasakan manfaatnya, terutama dalam penegakan hukum di Indonesia,” ujar wabup kepada wartawan.

Di tempat yang sama, Rektor Universitas Jember, Dr. Ir. Iwan Taruna, M. Eng, menyampaikan, kejaksaan merupakan salah satu praktisi, penyelenggara negara di bidang hukum sedang Unej merupakan penyelenggara di bidang pendidikan yang memiliki prodi di bidang hukum.

“Kami ingin mengembangkan kerja sama terkait tri dharma perguruan tinggi, yang ada pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat,” terangnya.

Salah satunya terkait dengan amanat Kemendikbud terkait konsep merdeka belajar, yang memberikan kebebasan kepada mahasiswa pada semester 6, 7, dan 8 untuk pelajar di luar program studinya.

“Jadi kami butuh stakeholder untuk bekerja sama. Salah satunya untuk mahasiswa Fakultas Hukum adalah kejaksaan,” terangnya.

Belajar di luar prodi tidak sekedar magang selama dua bulan. Bisa sampai enam bulan, yang setara dengan 20 SKS.

Mahasiswa yang di kejaksaan bisa turut serta dalam penyusunan berkas penuntutan. Tidak hanya sebegai pengetik, tapi juga bisa menyampaikan opini hukumnya dalam penyusunan berkas tersebut.

“Sehingga dia tahu betul penyusunan berkas perkara dari awal sampai akhir, sehingga itu menjadi kompetensi mahasiswa,” urai rektor.  

Selain itu, mahasiswa tersebut sudah tidak perlu orientasi lagi untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang jaksa.

Kedua, di bidang riset. Praktisi di lapangan adalah jaksa. Berbagai macam masalah yang digali akademisi Unej untuk obyek penelitian. Hasil riset yang dilakukan bisa menjadi solusi untuk pengembangan hukum di Indonesia. (din)

Bagikan Ke:

Related posts